Salatiga – Di Hotel Grand Wahid, Kota Salatiga, pada Senin, 17 November 2025, suasana seminar internasional CEPASO 2025 menjadi sarat wawasan ketika Sumanto Al Qurtuby dari Satya Wacana Christian University memaparkan kritiknya terhadap kerangka liberal peace yang selama ini menjadi acuan dominan dalam pembangunan perdamaian global. Dengan tema “Religion, Politics, and Peacebuilding: Critical Perspectives”, sesi ini menghadirkan pandangan segar tentang bagaimana pendekatan Barat sering gagal menghadapi kompleksitas konflik di berbagai belahan dunia.

Al Qurtuby menjelaskan bahwa kerangka liberal peace berasumsi bahwa pembangunan ekonomi, demokrasi, dan kontrol politik masyarakat akan secara otomatis membawa perdamaian. Namun, pengalaman di Timur Tengah dan Asia Tenggara menunjukkan sebaliknya. “Tidak semua individu atau organisasi masyarakat sipil memiliki niat baik membangun perdamaian,” ujarnya. Bahkan, beberapa CSO dan aktor lokal kadang berperan dalam memperkuat kekerasan atau memicu konflik baru.
Selain itu, Al Qurtuby menyoroti bagaimana liberal peace sering mengabaikan kepentingan kelompok lokal, struktur sosial-politik, dan potensi agama sebagai sumber perdamaian. Ia menekankan bahwa pendekatan ini terlalu fokus pada aspek politik dan ekonomi, sehingga gagal menangkap dinamika budaya dan nilai-nilai sosial yang membentuk perdamaian berkelanjutan.
Dalam presentasinya, Al Qurtuby juga memperkenalkan konsep peacebuilding yang lebih luas: negative peacebuildinguntuk menghentikan kekerasan langsung, positive peacebuilding yang menangani faktor struktural penyebab konflik, dan just peacebuilding, yang menekankan keadilan sebagai inti perdamaian. Just peacebuilding, menurutnya, menekankan transformasi hubungan antarbudaya dan penyembuhan dari ketidakadilan struktural, sehingga perdamaian tidak hanya berhenti pada penghentian konflik fisik tetapi juga menangani akar ketidakadilan.
Al Qurtuby menutup sesi dengan menegaskan perlunya strategi peacebuilding yang bersifat taktis dan strategis, membangun jaringan luas antaraktor perdamaian, dan menggabungkan elemen sekuler serta religius. Pendekatan ini, katanya, adalah fondasi bagi kerangka perdamaian pasca-liberal yang lebih adil, inklusif, dan mampu menjawab tantangan konflik masa kini. (MAN).