Kategori
Berita

“Dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara, Mahasiswa Asing Puji PBAK Pascasarjana UIN Salatiga”

Salatiga, 11 September 2025 — Kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) Pascasarjana UIN Salatiga tahun akademik 2025/2026 mendapat sambutan hangat tidak hanya dari mahasiswa dalam negeri, tetapi juga dari mahasiswa asing yang kini menjadi bagian dari komunitas akademik Pascasarjana UIN Salatiga.

Tercatat, sejumlah mahasiswa internasional dari Arab Saudi, Yaman, dan Filipina turut hadir dan mengikuti kegiatan yang berlangsung di Aula Lantai 3 Gedung Pascasarjana, Kamis (11/9). Mereka menyampaikan kesan positif dan kekaguman terhadap pelaksanaan PBAK, baik dari sisi muatan materi, kedisiplinan, atmosfer ilmiah, hingga nuansa religius yang mengakar kuat dalam kegiatan tersebut.

“Saya sangat terkesan. Kegiatan ini bukan hanya pengenalan kampus, tetapi juga memperlihatkan bagaimana budaya akademik dibangun dengan nilai Islam yang moderat dan inklusif,” ujar Abdullah Yahya al-Qahtani, mahasiswa asal Arab Saudi yang mengambil program Doktor Pendidikan Islam.

Sementara itu, Abdul Latif, mahasiswi asal Filipina yang menempuh studi di program Magister Pendidikan Agama Islam, mengaku terkesan dengan semangat keilmuan yang ditanamkan sejak hari pertama. Ia menilai bahwa orientasi akademik di UIN Salatiga memiliki kualitas yang setara bahkan lebih baik dibanding beberapa universitas di luar negeri.

“Saya merasa disambut seperti keluarga. Penekanannya pada riset dan publikasi sangat menginspirasi. UIN Salatiga jelas memiliki kualitas internasional,” ucapnya.

Hal senada disampaikan oleh Sarah Khasan, mahasiswi asal Yaman, yang melihat PBAK sebagai cerminan komitmen Pascasarjana UIN Salatiga untuk membangun atmosfer akademik global, yang terbuka terhadap keberagaman budaya dan negara asal mahasiswa.

Direktur Pascasarjana dalam sambutannya juga menekankan bahwa kehadiran mahasiswa asing merupakan bagian dari strategi internasionalisasi kampus, dan sekaligus wujud nyata bahwa Pascasarjana UIN Salatiga diminati oleh mahasiswa dari berbagai belahan dunia.

“Kami menyambut hangat kehadiran mahasiswa internasional. Ini membuktikan bahwa visi kami sebagai lembaga pendidikan tinggi yang unggul, integratif, dan berwawasan global semakin diakui luas,”ungkapnya.

Sebagai bagian dari rangkaian PBAK, mahasiswa diperkenalkan pada visi dan misi Pascasarjana UIN Salatiga, tata kelola akademik, etika riset, serta peluang kolaborasi internasional dalam penelitian dan publikasi ilmiah.

Melalui kegiatan ini, diharapkan seluruh mahasiswa — baik dari dalam maupun luar negeri — dapat beradaptasi dengan cepat dan terlibat aktif dalam pengembangan akademik di lingkungan Pascasarjana.

Pascasarjana UIN Salatiga saat ini terus mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi dengan menjunjung nilai-nilai keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan, sembari membuka diri terhadap pertukaran ilmu dan budaya dari berbagai negara. (MAN)

Kategori
Berita

“PBAK Pascasarjana UIN Salatiga 2025: 131 Mahasiswa Baru Disiapkan Menjadi Motor Intelektual Islam Global”

Salatiga, 11 September 2025 — Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga menyelenggarakan kegiatan Pembukaan Pengenalan Budaya Akademik bagi mahasiswa baru tahun akademik 2025/2026, yang berlangsung di Aula Lantai 3, Gedung Pascasarjana UIN Salatiga, pada Kamis (11/9). Kegiatan ini diikuti oleh 131 mahasiswa baru dari program Magister (S2) dan Doktor (S3), yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dan mahasiswa international dari Yaman, Saudi Arabia dan filipina.

Acara dibuka secara resmi oleh Direktur Pascasarjana UIN Salatiga Prof. Dr. Phil. Asfa Widiyanto, MA., yang dalam sambutannya menegaskan kembali visi dan misi Pascasarjana sebagai institusi yang berkomitmen terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, integrasi nilai-nilai Islam, dan kontribusi nyata bagi masyarakat global.

“Kami tidak hanya mencetak lulusan dengan gelar akademik, tetapi juga membentuk intelektual yang beretika, produktif dalam riset, dan aktif dalam publikasi ilmiah. Riset bukan sekadar kewajiban akademik, tetapi merupakan fondasi utama dari transformasi sosial dan peradaban,” tegas Direktur Pascasarjana di hadapan para peserta.

Dalam sambutannya, ia juga menekankan bahwa studi di level pascasarjana menuntut paradigma berpikir yang lebih kritis, reflektif, dan solutif. Mahasiswa didorong untuk menjadi produsen ilmu pengetahuan, bukan hanya konsumen. Oleh karena itu, peran aktif dalam penelitian dan publikasi ilmiah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran di Pascasarjana UIN Salatiga.

Kegiatan tersebut turut dihadiri oleh Wakil Direktur Pascasarjana, para Ketua Program Studi (Kaprodi) dan Sekretaris Program Studi (Sekprodi)Kasubag dan staf akademik pascasarjana UIN Salatiga dari berbagai program magister dan doktor. Para pimpinan program studi juga memberikan pengantar dan motivasi akademik kepada para mahasiswa baru, sembari memperkenalkan struktur kurikulum, sistem bimbingan, hingga peluang kolaborasi penelitian baik nasional maupun internasional.

Pengenalan budaya akademik ini menjadi agenda awal yang dirancang untuk memfasilitasi mahasiswa dalam memahami secara komprehensif tata kelola pendidikan tinggi di lingkungan Pascasarjana, mulai dari orientasi akademik, kode etik penelitian, hingga urgensi kontribusi akademik dalam bentuk publikasi di jurnal bereputasi.

“Kami berharap mahasiswa baru dapat segera beradaptasi dengan kultur akademik di Pascasarjana UIN Salatiga, menjadikan ruang kelas dan laboratorium riset sebagai ruang aktualisasi diri, serta menjalin kolaborasi lintas disiplin dan lintas institusi,” ujar Noor Malihah, Ph.D. Wakil Direktur Pascasarjana dalam arahannya.

Kegiatan berlangsung dengan penuh antusias dan partisipasi aktif dari para mahasiswa. Suasana keakraban terjalin antara mahasiswa dan para dosen, mencerminkan lingkungan akademik yang inklusif dan suportif.

Dengan kehadiran 131 mahasiswa baru, Pascasarjana UIN Salatiga terus menunjukkan peningkatan kepercayaan publik dan menjadi pilihan strategis bagi para akademisi dan profesional yang ingin melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi, sekaligus berkontribusi dalam pengembangan ilmu yang relevan dengan kebutuhan zaman dan tantangan global. (MAN)

Kategori
Berita

Rakor Dosen Pascasarjana UIN Salatiga 2025: Perkuat Mutu Akademik dan Etika Ilmiah

Salatiga, 28 Agustus 2025 — Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) pada Kamis, 28 Agustus 2025, sebagai bagian dari upaya konsolidasi dan peningkatan mutu akademik di lingkungan Pascasarjana. Kegiatan ini dihadiri oleh Direktur Pascasarjana, Wakil Direktur Pascasarjana, para Guru Besar UIN Salatiga, seluruh pengelola program studi (S3 PAI, S2 PAI, S2 PGMI, S2 Ekonomi Syariah, S2 Hukum Keluarga Islam, dan S2 Tadris Bahasa Inggris), serta dosen tetap Pascasarjana.

Dalam sambutannya, Direktur Pascasarjana menegaskan pentingnya peningkatan kinerja tridharma perguruan tinggi, khususnya dalam penguatan riset dan publikasi ilmiah pada jurnal bereputasi nasional (SINTA) dan internasional (Scopus). Beliau juga mengajak seluruh elemen Pascasarjana untuk terus berinovasi dan menjaga standar mutu akademik.

Salah satu fokus utama rakor adalah evaluasi pembelajaran semester genap tahun akademik 2024/2025, yang disampaikan oleh Wakil Direktur Pascasarjana berdasarkan hasil Evaluasi Dosen oleh Mahasiswa (EDOM). Beberapa aspek yang menjadi perhatian adalah kehadiran dosen dalam perkuliahan, kualitas dan kontinuitas pembimbingan tesis serta disertasi, serta ketepatan waktu pelaksanaan tugas akademik.

“Hasil EDOM menjadi cermin bagi kita untuk memperbaiki diri. Semua dosen diharapkan semakin optimal dalam memberikan pelayanan akademik, baik di kelas maupun dalam proses pembimbingan. Komitmen terhadap kualitas dan profesionalisme harus terus kita jaga,” ujar Prof. Dr. Asfa Widiyanto, selaku Direktur Pascasarjana UIN Salatiga.

Selain itu, dalam rakor juga ditegaskan komitmen Pascasarjana untuk menjunjung tinggi etika akademik, terutama dalam mencegah plagiarisme. Mahasiswa diingatkan untuk memahami dan mematuhi standar orisinalitas karya ilmiah, serta menggunakan aplikasi pendeteksi plagiarisme yang telah disediakan oleh institusi.

“Plagiarisme adalah pelanggaran serius dalam dunia akademik. Kami mengimbau seluruh mahasiswa untuk menjaga integritas ilmiahnya dan membiasakan diri menulis dengan jujur, bertanggung jawab, serta sesuai dengan kaidah ilmiah,” tegas Noor Malihah, Ph.D. Wakil Direktur Pascasarjana.

Agenda rakor juga mencakup pembahasan teknis terkait kurikulum berbasis Outcome-Based Education (OBE) yang tergambarkan dalam penyusunan RPS, strategi akreditasi unggul, bimbingan tesis/disertasi, serta strategi peningkatan keterlibatan dosen dan mahasiswa dalam publikasi ilmiah.

Dengan semangat kolaborasi dan komitmen bersama, Pascasarjana UIN Salatiga bertekad untuk terus mendorong mutu pendidikan tinggi berbasis riset, integritas keilmuan, dan kontribusi nyata terhadap pengembangan keilmuan Islam dan masyarakat. Wujud dari semangat ini, pascasarjana melalui Wakil Direktur juga menyampaikan kembali berbagai persyaratan akademik yang harus dipenuhi oleh mahasiswa sebelum menyelesaikan studi, di antaranya:

  • Keikutsertaan dalam kegiatan Colloquium atau forum akademik ilmiah,
  • Sertifikat kemampuan Bahasa Asing seperti EPE (English Proficiency Evaluation),
  • Publikasi artikel ilmiah sesuai jenjang, dan
  • Pemenuhan administrasi akademik lainnya yang diatur dalam ketentuan resmi Pascasarjana UIN Salatiga.

Penguatan sistem monitoring dan evaluasi proses akademik juga menjadi bagian dari agenda, termasuk penyusunan jadwal perkuliahan dan bimbingan yang lebih efektif dan terstruktur.

Dengan semangat kebersamaan, Rakor ini diharapkan mampu memperkuat arah pengembangan Pascasarjana UIN Salatiga menjadi pusat studi keislaman dan multidisipliner yang unggul, kompetitif, dan berintegritas. (MAN)

Kategori
Berita

CEPaSo Wednesday Forum #7 Bongkar Peran Narasi dalam Melawan Stigma dan Konflik Sosial

Salatiga — Di tengah maraknya ujaran kebencian dan polarisasi sosial yang makin meruncing, Pascasarjana UIN Salatiga melalui Center for Education, Peace and Social Justice (CEPaSo) mencoba melawan dengan cara yang tidak biasa: bicara. Tepatnya, bicara dengan penuh kesadaran dan strategi.

Dalam gelaran Wednesday Forum, Rabu 27 Agustus 2025, tema “Public Speaking untuk Perdamaian: Membangun Narasi Positif, Menolak Stigma Negatif” diangkat menjadi sorotan. Dua narasumber dihadirkan — Dini Rahmantika, M.Hum. dan Yusrina Nur Dianati, M.Si. — untuk membedah bagaimana keterampilan berbicara bukan sekadar teknik komunikasi, tetapi juga arena pertarungan ide, identitas, bahkan kekuasaan narasi.

Forum yang berlangsung di ruang rapat Pascasarjana UIN ini dipadati oleh mahasiswa, dosen, dan praktisi pendidikan. Mereka hadir bukan hanya untuk belajar teknik vokal atau menghafal gestur tangan, tetapi untuk mengupas pertanyaan yang jauh lebih tajam: bisakah kata-kata menjadi alat perlawanan terhadap diskriminasi dan kekerasan simbolik?

Bicara Bukan Sekadar Bicara

Dalam pemaparannya, Dini Rahmantika menolak anggapan bahwa public speaking hanyalah urusan tampil percaya diri. “Public speaking adalah strategi. Narasi yang kita bangun bisa jadi jembatan atau justru tembok,” ujarnya tajam. Ia menyoroti pentingnya memilih diksi yang bukan hanya tepat, tapi juga etis dan kontekstual.

Dini mengingatkan bahwa di tengah masyarakat yang rentan dengan provokasi, satu kalimat bisa memicu dialog — atau sebaliknya, memperpanjang luka sosial.

Narasi sebagai Alat Pemberdayaan

Sementara itu, Yusrina Nur Dianati membawa diskusi ke arah yang lebih humanis. Ia menekankan bahwa keterampilan berbicara harus diarahkan untuk membuka ruang, bukan menutupnya. “Public speaking harus menyuarakan yang selama ini dibungkam. Bukan hanya tentang menjadi terdengar, tapi membuat orang lain merasa diwakili,” katanya.

Dalam konteks ini, public speaking bertransformasi menjadi medium inklusi — bukan panggung dominasi.

Tanya Jawab yang Membongkar Realita

Sesi diskusi menjadi titik klimaks. Mahasiswa Pascasarjana UIN Salatiga tidak segan melempar pertanyaan yang reflektif bahkan konfrontatif. Mereka mempertanyakan: bagaimana menyusun narasi damai di tengah konflik agama dan identitas? Bagaimana bicara tanpa menyinggung, tapi tetap tegas menyampaikan kebenaran?

Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan betapa tema forum kali ini bukan sekadar akademis — tapi personal dan politis.

Tips Praktis, Tapi Tidak Dangkal

Tak hanya konsep, forum ini juga menyajikan strategi konkret — dari cara mengatasi gugup di depan audiens yang heterogen, membangun kepercayaan diri, hingga menyisipkan teknik storytelling yang menyentuh emosi tanpa menjadi manipulatif.

Dialog antara narasumber dan peserta menjadi bukti bahwa belajar berbicara adalah juga belajar mendengarkan: tentang pengalaman, keresahan, dan harapan bersama.

Public Speaking: Antara Dialog dan Propaganda

Direktur CEPaSo menutup forum dengan pernyataan penting: “Public speaking bukan hanya seni retorika — tapi tanggung jawab sosial.” Ia menegaskan bahwa kemampuan bicara di ruang publik adalah jembatan menuju keadilan sosial, bukan panggung egosentrisme.

Forum ini, kata beliau, adalah bagian dari upaya UIN Salatiga membangun budaya akademik yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berani, adil, dan damai.

Refleksi: Damai Itu Dimulai dari Kalimat Pertama

Kegiatan ditutup dengan pesan reflektif yang kuat: perdamaian tidak lahir dari senjata atau kekuasaan, tapi dari narasi yang kita bangun—kalimat demi kalimat, suara demi suara.

Kategori
Berita

CEPaSo Wednesday Forum #5: Ngaji Lewat Aplikasi: Apakah Ustadz Bisa Tergeser?

Salatiga, 6 Agustus 2025 — Bisa ngaji sambil rebahan, cukup lewat layar smartphone. Tapi pertanyaannya, apakah itu cukup menggantikan peran ustadz di era digital? Inilah isu panas yang diangkat dalam Wednesday Forum edisi ke-5 yang digelar oleh Center for Peace and Social Justice (CEPaSo) Pascasarjana UIN Salatiga, Rabu lalu (6/8).

Bertempat di ruang rapat Kampus 1 UIN Salatiga, forum ini menghadirkan H. Imam Fakhrurozi, S.H.I., M.Pd., akademisi sekaligus peneliti media Islam digital, yang juga tengah menyelesaikan disertasinya tentang pembelajaran Al-Qur’an melalui aplikasi Yassir Lana.

Mengangkat tema “Ngaji di Era Digital: Apakah Aplikasi Bisa Gantikan Ustadz?”, diskusi berlangsung hangat dan reflektif, dihadiri para dosen dan mahasiswa yang aktif dalam kajian keislaman dan teknologi.

Ngaji Digital: Praktis, Tapi Apakah Tetap Otentik?

Dalam pemaparannya, Imam Fakhrurozi menjelaskan bagaimana fenomena dakwah digital kini tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Aplikasi seperti YouTube, TikTok, Spotify, hingga MuslimPro telah menjadi sarana baru bagi masyarakat dalam mengakses ilmu agama—mudah, cepat, dan bisa diakses kapan saja.

“Hari ini, orang bisa belajar Al-Qur’an dari ponsel, dari mana saja. Tapi pertanyaannya, apakah prosesnya tetap mendalam? Apakah ruh pengajaran tetap terjaga?” ungkap Imam.

Ia menekankan bahwa Al-Qur’an bukan hanya teks yang dibaca, tapi juga harus dihayati dengan bimbingan. Mengutip sabda Rasulullah, ia mengingatkan: “Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat memberi syafaat kepada pembacanya.”

Forum ini juga menyinggung hasil penelitian beliau terkait efektivitas aplikasi Yassir Lana dalam mendukung pemahaman Al-Qur’an di kalangan santri di beberapa lokasi penelitian. Temuan awal menunjukkan bahwa aplikasi tersebut membantu dari sisi akses dan efisiensi, namun tetap membutuhkan peran guru dalam memberi kontekstualisasi dan pembimbingan makna.

Ketika Ustadz Bertemu Teknologi

Diskusi makin hidup saat peserta menyinggung soal kualitas konten keislaman di media sosial yang seringkali tidak terverifikasi, bahkan bisa menyesatkan. Ada juga pembahasan menarik tentang bagaimana ustadz harus mulai melek teknologi tanpa kehilangan jati diri keilmuannya.

“Kita tidak bisa menolak digitalisasi. Tapi yang harus dijaga adalah kualitas bimbingan dan orisinalitas ajaran,” ujar salah satu peserta forum.

Forum ini memunculkan banyak pertanyaan kritis, termasuk bagaimana membangun ekosistem ngaji digital yang sehat, serta pentingnya kurasi konten keislaman oleh lembaga yang kompeten.

CEPaSo dan Komitmen Merawat Dialog Ilmiah di Era Disrupsi

Sebagai penutup, forum merumuskan beberapa rekomendasi, di antaranya perlunya pengembangan fitur pembelajaran interaktif dalam aplikasi Yassir Lana, serta pendalaman teori-teori pendidikan digital dalam konteks Islam.

Melalui tema yang menyentuh langsung kehidupan sehari-hari, Wednesday Forum ini kembali membuktikan diri sebagai ruang diskusi yang inovatif, reflektif, dan kontekstual. CEPaSo terus berkomitmen menjadi jembatan antara perkembangan teknologi dan nilai-nilai keislaman yang otentik dan membumi.

Karena hari ini, belajar agama tak lagi soal datang ke majelis, tapi juga soal bagaimana kita memaknai layar kecil di genggaman—sebagai wasilah, bukan pengganti. (MAN)

Kategori
Berita

CEPaSo Wednesday Forum #6: “Kenaikan Pajak:  Negara Butuh Uang atau Birokrasi Butuh Efisiensi?

Salatiga, 20 Agustus 2025 — Suasana diskusi kritis kembali menghangat di Pascasarjana UIN Salatiga dalam gelaran Wednesday Forum ke-6. Forum kali ini mengangkat tema aktual dan sensitif: “Kenaikan Pajak: untuk Optimalisasi Birokrasi atau Negara sedang Butuh Uang?”—sebuah isu yang belakangan ramai diperbincangkan publik seiring meningkatnya tekanan fiskal di tingkat nasional.

Kegiatan yang diselenggarakan di ruang pertemuan Pascasarjana ini menghadirkan dua narasumber utama: Muhammad Naufaldhi Nugraha, praktisi ekonomi dan analis kebijakan publik, serta Dr. Iskandar, M.Si., akademisi yang dikenal dengan analisis tajamnya terhadap isu-isu fiskal dan utang negara. Forum dihadiri oleh mahasiswa dan dosen Pascasarjana, yang sejak awal menunjukkan antusiasme tinggi terhadap isu yang dibahas.

Pajak Bukan Ancaman, Tapi Kewajiban yang Harus Diawasi

Dalam paparannya, Muhammad Naufaldhi membuka diskusi dengan menekankan bahwa pajak tidak semata-mata merupakan kewajiban rakyat kepada negara, melainkan juga bagian dari kontrak sosial yang dibangun atas dasar kepercayaan. Ia menyatakan bahwa pajak merupakan instrumen penting dalam pembiayaan pembangunan nasional, namun mengajak peserta untuk merenungkan satu pertanyaan mendasar: “Apakah manfaat dari pajak benar-benar kembali dirasakan oleh masyarakat?”

Lebih lanjut, Naufaldhi menjelaskan bahwa masyarakat seharusnya tidak perlu merasa khawatir terhadap pajak, selama negara menjalankan peran dan tanggung jawabnya secara terbuka dan adil. Menurutnya, kenaikan pajak pada dasarnya dapat diterima, jika diimbangi dengan transparansi birokrasi dan perbaikan nyata dalam pelayanan publik.

“Ketika rakyat membayar pajak, mereka memiliki hak untuk menuntut akuntabilitas. Jika pengelolaannya tidak terbuka, maka wajar jika muncul resistensi dari publik—dan hal itu tentu berisiko bagi stabilitas negara,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya penguatan fungsi kontrol publik dalam memastikan pengelolaan pajak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam pandangannya, isu utama bukan sekadar besarnya tarif pajak, tetapi rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga yang mengelola dana tersebut.

Utang Negara dan Tantangan Fiskal: Kenaikan Pajak Bukan Jalan Satu-satunya

Sementara itu, Dr. Iskandar, M.Si.  pakar ekonomi pembangunan mengulas aspek struktural dari kebijakan fiskal. Ia memaparkan bahwa utang pemerintah yang terus meningkat menjadi tekanan tersendiri yang mendorong negara untuk mencari sumber pembiayaan baru termasuk melalui kenaikan pajak.

Pemerintah memang butuh uang. Tapi kenaikan pajak harus dibarengi dengan reformasi birokrasi dan efisiensi anggaran,” jelasnya.

Iskandar menekankan bahwa menaikkan pajak tanpa memperbaiki tata kelola birokrasi hanya akan memperbesar beban masyarakat. Ia menyarankan adanya langkah-langkah simultan, seperti pengurangan kebocoran anggaran, digitalisasi layanan publik, dan penguatan aparatur pajak yang kredibel dan profesional.

Ruang Dialog yang Kritis dan Kontekstual

Diskusi berlangsung interaktif, dengan mahasiswa dan dosen aktif mengajukan pertanyaan. Topik yang muncul antara lain: bagaimana pajak dapat adil bagi masyarakat kecil, apa alternatif pengelolaan utang negara, serta peran kampus dalam menciptakan wacana fiskal yang sehat.

Forum ini juga membuka wawasan peserta mengenai pentingnya membedakan antara pajak sebagai kewajiban warga negara dan pajak sebagai alat kekuasaan. Narasumber secara bergantian menegaskan bahwa kedaulatan fiskal harus selalu dibarengi dengan legitimasi moral dan transparansi kebijakan.

Kontribusi Akademik untuk Negara

Wednesday Forum kali ini bukan hanya ajang diskusi, tetapi juga bentuk nyata kontribusi akademik terhadap isu-isu kebangsaan. Pascasarjana UIN Salatiga kembali membuktikan diri sebagai ruang publik yang tidak hanya menampung wacana ilmiah, tetapi juga mengasah kesadaran kritis dan tanggung jawab sosial sivitas akademika.

Dengan tema yang menyentuh langsung dinamika nasional dan pemaparan yang tajam dari para narasumber, forum ini berhasil menjembatani ilmu dan realitas, serta menegaskan kembali pentingnya pajak yang adil, transparan, dan dikelola secara bertanggung jawab. (MAN)

Exit mobile version
Dengarkan Teks