Kategori
Berita

Interdisciplinary Colloquium UIN Salatiga; Prof. Lena (France) Bahas Konsep Dīn dalam Islam dan Dinamika Perubahannya

Salatiga, 2 Mei 2025 di Aula Lantai 3, Program Pascasarjana UIN Salatiga mengadakan Interdisciplinary Colloquium dengan tema “Decolonizing the Academic Study of the Islamic Tradition”. Salah satu sesi yang menarik perhatian peserta membahas tentang konsep dīn dalam Islam, dengan penekanan pada pemahaman bahwa dīn bukanlah entitas yang statis, melainkan merupakan kumpulan ide dan praktik yang terus berkembang, dipengaruhi oleh waktu dan tempat. Pembicara internasional menjelaskan bahwa dīn—yang sering diterjemahkan sebagai agama atau cara hidup dalam Islam—tidak memiliki esensi tunggal dan murni.

Prof. Lena Salaymeh dari Université Paris Sciences et Lettres, Prancis menguraikan bahwa dīn adalah sesuatu yang dinamis dan selalu berubah seiring perkembangan sejarah, konteks sosial, dan budaya. Ini berarti bahwa tidak ada satu versi “murni” dari dīn yang dapat diterima oleh semua pihak, karena pemahaman dan praktiknya dipengaruhi oleh faktor-faktor lokal dan historis. Dalam hal ini, konsep dīn dapat dilihat sebagai sebuah spektrum ide dan praktik yang saling berinteraksi, beradaptasi, dan berubah seiring waktu.

Para peserta sebanyak 175 orang yang terdiiri dari dari sivitas akademika Pascasarjana UIN Salatiga, mahasiswa program doktor dan magister, serta tamu undangan dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), diajak untuk melihat kenyataan bahwa dalam komunitas Islam, terdapat kompetisi di antara individu dan kelompok untuk mendefinisikan apa yang dianggap sebagai ide dan praktik ortodoks dalam dīn. Hal ini menciptakan pluralitas dalam pemahaman Islam yang terus berkembang dan terfragmentasi, tergantung pada konteks sosial, politik, dan budaya setempat. Pembicara menekankan bahwa pluralitas dan kekayaan ide dalam Islam seharusnya dipahami sebagai bagian dari kenyataan hidup dalam dīn, bukan sebagai sesuatu yang perlu dipertentangkan.

Salah satu konsep kunci yang dibahas adalah hybridity (ketercampuran), yang menjadi hal yang normal dalam tradisi Islam. Dalam sejarah panjang Islam, berbagai elemen budaya dan pemikiran telah saling bercampur, menciptakan bentuk-bentuk pemahaman dan praktik yang beragam. Hybridity ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kemurnian agama, tetapi sebagai salah satu ciri khas Islam yang fleksibel dan mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan zaman dan ruang.

Diskusi ini membuka ruang bagi peserta untuk berpikir kritis mengenai bagaimana kita memahami Islam dalam kerangka yang lebih inklusif dan kontekstual. Islam bukanlah sebuah ideologi monolitik, melainkan sebuah tradisi yang terus berkembang dan mampu menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan. Dalam perspektif ini, studi Islam harus mengakomodasi variasi praktik dan pemahaman yang ada, serta tidak terjebak dalam pandangan tunggal yang sering dipaksakan oleh wacana dominan.

Direktur Pascasarjana UIN Salatiga mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya kampus untuk mendorong pemahaman Islam yang lebih inklusif dan kontekstual. Ia berharap para peserta dapat membawa wawasan ini dalam penelitian dan kajian mereka, untuk menghasilkan studi Islam yang lebih menghargai keragaman dan dinamika dalam tradisi keagamaan ini. (MAN)

Kategori
Berita

Menelaah Studi Dekolonial: Sebuah Kritik dan Praktik Pembebasan Pengetahuan dalam Interdisciplinary Colloquium UIN Salatiga”

Pada hari Jumat, tanggal 2 Mei 2025, telah diselenggarakan kegiatan Interdisciplinary Colloquium bertajuk Religion and Decolonial Studies yang bertempat di Aula Lantai 3 Gedung Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga. Acara ini mengundang pembicara internasional Prof. Salman Sayyid dari University of Leed, UK dan Prof. Lena Salaymeh dari Universite Paris Sciences et Lettres, France, untuk mengupas lebih dalam mengenai dua pemahaman terkait dekolonialisasi: sebagai kritik terhadap struktur pengetahuan yang ada dan sebagai praktik yang mengarah pada pembebasan intelektual.

Acara ini dihadiri kurang lebih 175 peserta, yang terdiri atas Dosen Pascasarjana, mahasiswa program doktor dan magister Pascasarjana UIN Salatiga, serta pengelola dan mahasiswa dari universitas mitra, termasuk perwakilan dari Program Doktor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Kehadiran peserta lintas institusi ini menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap tema-tema transdisipliner yang ditawarkan dalam kegiatan ini.

Dalam sesi utama, Prof. Salman menguraikan dua pemahaman yang saling terkait dalam studi dekolonial: pertama, dekolonialitas sebagai teori (decolonial theory) dan kedua, dekolonialisasi sebagai praktik (decoloniality). Dekolonialitas sebagai teori berfungsi sebagai sebuah bentuk kritik terhadap struktur pengetahuan yang dominan, yang telah dibentuk oleh kekuatan kolonial dan neoliberalisme. Teori ini bertujuan untuk menantang dan mengkaji ulang paradigma-pada-pandangan yang selama ini dianggap sebagai kebenaran universal, yang seringkali berpihak pada narasi-narasi dominan, seperti yang dipropagandakan oleh dunia Barat.

Sementara itu, menurut Prof. Lena dekolonialisasi sebagai praktik (decoloniality) yang lebih berfokus pada penerapan langsung dari teori tersebut dalam kehidupan nyata. Praktik ini mencakup usaha-usaha untuk merebut kembali ruang dan cara-cara berpikir yang telah terpengaruh atau terkekang oleh sistem kolonial. Pembicara menekankan bahwa dekolonialisasi tidak hanya berlaku pada tingkat akademis, tetapi juga pada praktik sosial, politik, dan kultural. Dalam konteks studi Islam, dekolonialisasi berarti membebaskan pemikiran dan ekspresi keagamaan umat Islam dari batasan-batasan yang ditetapkan oleh paradigma kolonial dan modernitas Barat.

Dalam diskusi yang berlangsung, peserta colloquium mengungkapkan pentingnya kedua pendekatan ini dalam merumuskan kembali studi Islam yang lebih inklusif dan kontekstual. Mereka menyoroti bahwa, untuk menghasilkan pengetahuan yang bebas dari dominasi kolonial, sangat penting bagi akademisi untuk mengintegrasikan teori dekolonial dan mempraktikkannya dalam kehidupan akademik dan sosial mereka. Hal ini juga relevan dalam menyusun kurikulum yang tidak hanya merujuk pada perspektif Barat, tetapi juga mengangkat suara dan tradisi intelektual dari dunia Muslim itu sendiri.

Direktur Pascasarjana UIN Salatiga menyampaikan bahwa kegiatan ini adalah upaya kampus untuk mendorong para akademisi dan mahasiswa untuk tidak hanya mengkritisi teori yang ada, tetapi juga mengimplementasikan perubahan nyata dalam cara kita memproduksi dan mengkonsumsi pengetahuan. Ia berharap dekolonisasi studi Islam menjadi langkah penting dalam menciptakan dunia akademik yang lebih adil dan berdaya saing. (MAN)

Kategori
Berita

“Islam dan Modernitas dalam Sorotan Kolonial: Diskusi Kritis Prof Salman di Interdisciplinary Colloquium UIN Salatiga”

Salatiga, 2 Mei 2025 – Dalam rangka memperdalam diskursus tentang dekolonisasi pengetahuan, Program Pascasarjana UIN Salatiga menyelenggarakan Interdisciplinary Colloquium bertema “Decolonizing the Academic Study of the Islamic Tradition” pada Jumat (2/5) di Gedung Pascasarjana. Kegiatan ini membahas bagaimana pandangan kolonial terhadap Islam terus berpengaruh dalam cara kita memahami agama ini, baik dalam konteks sejarah maupun dalam studi Islam kontemporer.

Dalam salah satu sesi, pembicara internasional Prof. Salman Sayyid dari University of Leed, UK menyoroti bagaimana kolonialisme, khususnya dalam narasi Barat, menggambarkan Islam sebagai agama yang konservatif, irasional, dan tidak adil. Islam sering diposisikan sebagai lawan dari “modernitas”, dikaitkan dengan ketidakmampuan untuk menjadi dasar kewarganegaraan yang adil dan demokratis. Kolonialisme menggambarkan Islam sebagai agama yang menindas perempuan dan minoritas, serta tidak mampu memenuhi nilai-nilai universal yang dianggap penting oleh negara-negara Barat, seperti hak asasi manusia dan demokrasi.

Pembicara juga menjelaskan bahwa pandangan ini tidak hanya terbatas pada masa penjajahan, tetapi terus bertahan dalam berbagai wacana ilmiah dan sosial di era pascakolonial. Islam sering kali dibingkai sebagai sesuatu yang statis, tertinggal, dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman, sementara nilai-nilai Barat seperti sekularisme, individualisme, dan liberalisme diposisikan sebagai puncak pencapaian peradaban. Pandangan ini berkontribusi pada marginalisasi suara-suara Islam dalam diskursus global, yang sering kali dianggap tidak relevan atau bahkan kontradiktif dengan konsep modernitas.

Sebagai respons terhadap pandangan kolonial ini, para peserta colloquium menekankan pentingnya pendekatan dekolonial dalam studi Islam. Mereka mengajukan bahwa Islam seharusnya dipahami dalam kerangka yang lebih dinamis dan kontekstual, dengan menghargai keberagaman tradisi intelektual dan sosial yang ada di dunia Muslim. Islam bukanlah sebuah monolit, dan pemahamannya dalam masyarakat kontemporer harus mengakomodasi konteks lokal serta memberi ruang untuk pertumbuhan dan inovasi.

Direktur Pascasarjana UIN Salatiga menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya kampus untuk membongkar mitos-mitos kolonial dan membuka jalan bagi lahirnya studi Islam yang lebih adil dan inklusif. Ia mengajak seluruh akademisi dan mahasiswa untuk berani mempertanyakan narasi-narasi lama dan berkontribusi pada pembentukan wacana ilmiah yang lebih beragam dan bermartabat. (MAN)

Kategori
Berita

Prof. Lena (France) Mengkaji Ulang Makna Agama dan Sekularisme di Colloquium Pascasarjana UIN Salatiga

Salatiga, 2 Mei 2025 – Pertanyaan fundamental tentang makna agama menjadi sorotan utama dalam Interdisciplinary Colloquium yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana UIN Salatiga pada Jumat (2/5). Mengusung tema besar “Religion and Decolonial Studies”, kegiatan ini menggugah kembali perdebatan klasik namun krusial: apa itu agama?, dan bagaimana sekularisme telah membentuk pemahaman kita terhadapnya.

Dalam pemaparannya, Prof. Lena Salaymeh dari Universite Paris Sciences et Lettres, France mengurai bahwa hingga kini, tidak ada konsensus universal mengenai definisi agama. Dalam kerangka ideologi sekularisme, agama sering didefinisikan bukan melalui ciri-cirinya sendiri, tetapi sebagai lawan dari yang sekuler. Sekularisme mendefinisikan agama sebagai sesuatu yang “non-sekuler”—yakni sesuatu yang dianggap berada di luar ruang publik, khususnya di luar ranah politik, hukum, dan kebijakan negara.

Lebih lanjut, dibahas bagaimana definisi ini tidak netral, melainkan bersifat ideologis dan historis. Sekularisme sebagai produk modernitas Barat, menurut pembicara, telah memaksakan batasan-batasan tertentu terhadap peran agama dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, khususnya di negara-negara pascakolonial, kerangka ini diadopsi tanpa kajian kritis, sehingga menyebabkan penyempitan fungsi agama dalam kehidupan publik, termasuk dalam diskursus akademik dan kebijakan.

Diskusi dalam colloquium tersebut membuka ruang dialog yang mendalam di antara para peserta, yang terdiri dari akademisi lintas bidang, mahasiswa, serta peminat kajian agama. Mereka menyoroti pentingnya membebaskan studi agama—terutama Islam—dari definisi yang dibentuk oleh paradigma sekuler kolonial, dan mendorong lahirnya pendekatan yang lebih kontekstual serta berpijak pada pengalaman umat beragama itu sendiri.

Direktur Pascasarjana UIN Salatiga dalam sambutannya menyatakan bahwa acara ini merupakan langkah strategis untuk mengkritisi kategori-kategori konseptual yang selama ini dianggap mapan. Ia menekankan bahwa dekolonisasi pengetahuan bukan berarti menolak diskursus global, melainkan menghadirkannya secara adil dan setara dengan perspektif dunia Islam dan Selatan Global. (MAN).

Kategori
Berita

“Colloquium UIN Salatiga Kupas Pemikiran Ibn Khaldun dan Warisan Psikologis Penjajahan dalam Tradisi Akademik”

Salatiga, 2 Mei 2025 – Dalam upaya memperkuat wacana kritis tentang dekolonisasi pengetahuan, Program Pascasarjana UIN Salatiga kembali menggelar Interdisciplinary Colloquium bertajuk “Decolonizing the Academic Study of the Islamic Tradition” pada hari Jumat, 2 Mei 2025. Acara yang berlangsung di lantai 3 Gedung Pascasarjana ini menghadirkan pembicara internasional Prof. Salman Sayyid dari University of Leed, UK dan Prof. Lena Salaymeh dari Universite Paris Sciences et Lettres, France, yang menyoroti bagaimana warisan kolonial tidak hanya mengubah struktur kekuasaan, tetapi juga merasuki cara pandang masyarakat terhadap dirinya sendiri dan budayanya.

Dalam paparannya, pembicara mengangkat kembali pemikiran klasik dari sejarawan dan sosiolog Muslim abad ke-14, Ibn Khaldun, yang menulis: “Yang kalah selalu ingin meniru yang menang dalam ciri khasnya, pakaiannya, pekerjaannya, serta seluruh kondisi dan kebiasaannya. Jiwa manusia cenderung melihat kesempurnaan dalam diri orang yang dianggap lebih unggul dan kepadanya ia tunduk. Ia menganggap pihak yang menang itu sempurna, baik karena rasa hormat yang mendalam maupun karena keliru menafsirkan kekalahannya sebagai bukti keunggulan lawan.”

Menurut kedua narasumber, kutipan Ibn Khaldun tersebut relevan untuk memahami fenomena internalisasi inferioritas dalam masyarakat pascakolonial, termasuk di dunia Muslim. Dominasi kolonial tidak hanya memaksakan kekuasaan politik dan ekonomi, tetapi juga membentuk persepsi bahwa pengetahuan, budaya, dan cara hidup Barat adalah bentuk superioritas yang patut ditiru. Hal inilah yang menjelaskan mengapa banyak lembaga pendidikan dan keilmuan di Selatan Global cenderung mengadopsi paradigma Barat tanpa mempertanyakan relevansinya terhadap konteks lokal.

Diskusi dalam colloquium ini menggugah kesadaran akan pentingnya membangun kembali rasa percaya diri intelektual dan kultural umat Islam. Para peserta menekankan bahwa proses dekolonisasi tidak hanya sebatas pada kritik terhadap sistem akademik kolonial, tetapi juga menyangkut upaya membebaskan cara berpikir yang selama ini dikondisikan untuk mengagumi dan meniru pusat-pusat kekuasaan global.

Direktur Pascasarjana UIN Salatiga dalam sambutannya mengajak seluruh civitas akademika untuk menjadikan momentum ini sebagai langkah reflektif dan strategis dalam membangun pendekatan keilmuan yang berakar pada warisan intelektual Islam, seperti yang diwariskan Ibn Khaldun, sekaligus kontekstual dengan tantangan zaman. (MAN)

Kategori
Berita

Religion and Decolonial Studies: UIN Salatiga Gaungkan Wacana Global dari Salatiga

Pada hari Jumat, tanggal 2 Mei 2025, telah diselenggarakan kegiatan Interdisciplinary Colloquium bertajuk Religion and Decolonial Studies yang bertempat di Aula Lantai 3 Gedung Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga. Acara ini merupakan inisiatif ilmiah dari Pascasarjana UIN Salatiga dalam rangka mendorong diskusi akademik lintas disiplin dan lintas budaya terkait isu agama dan dekolonialisasi pengetahuan dengan pakar international.

Acara dibuka secara resmi oleh Direktur Pascasarjana UIN Salatiga, Prof. Asfa Widiyanto, yang dalam sambutannya menekankan pentingnya menghadirkan perspektif dekolonial dalam studi keagamaan, serta peran institusi pendidikan tinggi Islam dalam membongkar warisan kolonialitas dalam struktur pengetahuan. Beliau juga menyampaikan apresiasi yang tinggi atas partisipasi dua tokoh intelektual dunia yang hadir sebagai narasumber utama.

Hadir sebagai narasumber dalam colloquium ini adalah Prof. Salman Sayyid dari University of Leeds, Inggris, yang dikenal luas atas kontribusinya dalam kajian postkolonial dan Islam politik, serta Prof. Lena Salaymeh dari Université Paris Sciences et Lettres, Prancis, yang merupakan pakar hukum Islam dan pemikiran dekolonial. Keduanya menyampaikan paparan akademik yang mendalam mengenai hubungan antara agama, kekuasaan, dan dinamika epistemologi global.

Prof. Salman Sayyid dalam pemaparannya menyampaikan bahwa kolonialisme bukan hanya peristiwa sejarah, melainkan sebuah relasi kekuasaan yang berlangsung lama antara mayoritas penduduk asli (atau yang didatangkan secara paksa) dengan minoritas penjajah asing. “Keputusan-keputusan fundamental yang memengaruhi kehidupan masyarakat yang dikolonisasi dibuat dan dilaksanakan oleh para penguasa kolonial demi kepentingan yang sering kali ditentukan di sebuah metropolis yang jauh. Dengan menolak kompromi budaya dengan penduduk yang dikolonisasi, para penjajah meyakini superioritas mereka sendiri dan mandat ilahi mereka untuk memerintah,” ungkap pembicara.

Prof. Lena Salaymeh dalam pemaparannya, menjelaskan bahwa cara pandang kolonial terhadap dunia tidak berhenti pada masa penjajahan formal. Ia menekankan bahwa warisan intelektual kolonial masih aktif membentuk kerangka berpikir akademik dan budaya global, termasuk dalam studi keislaman. Dengan mengutip pemikiran Frantz Fanon yang menyatakan bahwa kolonialisme tidak hanya menundukkan masa kini dan masa depan suatu bangsa, tetapi juga secara sistematis merusak masa lalunya. “Kolonialisme tidak hanya puas menguasai masa kini dan masa depan suatu negeri yang ditaklukkan. Ia tidak hanya berusaha mengosongkan pikiran masyarakat jajahan dari bentuk dan isi. Dengan logika yang menyimpang, kolonialisme juga menyerang masa lalu mereka—mendistorsi, merusak, dan menghancurkannya,” ujar Prof. Lena.

Bagi keduanya, Prof Salman (UK) dan Prof Lena (France) dalam konteks studi Islam, warisan kolonial telah menggeser otoritas narasi sejarah Islam dari tangan umat Islam sendiri ke institusi akademik Barat, sehingga keduanya menyoroti bagaimana Agama sering direpresentasikan dalam kerangka wacana kolonial, sehingga penting untuk mereposisi agama sebagai bagian integral dari proyek intelektual global, dengan menekankan pentingnya pendekatan kritis terhadap historiografi agama serta keterkaitannya dengan proyek dekolonisasi akademik.

Acara ini dihadiri oleh lebih dari 175 peserta, yang terdiri atas Dosen Pascasarjana, mahasiswa program doktor dan magister Pascasarjana UIN Salatiga, serta pengelola dan mahasiswa dari universitas mitra, termasuk perwakilan dari Program Doktor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Kehadiran peserta lintas institusi ini menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap tema-tema transdisipliner yang ditawarkan dalam kegiatan ini.

Selain sesi pleno dari kedua narasumber, acara juga diisi dengan sesi diskusi interaktif yang melibatkan peserta secara aktif. Banyak pertanyaan kritis dan reflektif muncul dari mahasiswa maupun dosen terkait bagaimana strategi konkret menerapkan pendekatan dekolonial dalam riset, kurikulum, dan praksis keilmuan di Indonesia.

Interdisciplinary Colloquium ini diakhiri dengan mengutip sambutan dari Direktur Pascasarjana yang menegaskan pentingnya menjadikan kegiatan ini sebagai agenda rutin untuk memperkuat jejaring akademik dan memperluas spektrum kajian Pascasarjana UIN Salatiga dalam konteks global. Seluruh rangkaian acara berlangsung lancar dan penuh antusiasme, serta memberikan kontribusi signifikan dalam memperkaya wawasan intelektual sivitas akademika dalam membangun tradisi akademik yang kritis, inklusif, dan berorientasi global. (MAN)