Salatiga, 6 Agustus 2025 — Bisa ngaji sambil rebahan, cukup lewat layar smartphone. Tapi pertanyaannya, apakah itu cukup menggantikan peran ustadz di era digital? Inilah isu panas yang diangkat dalam Wednesday Forum edisi ke-5 yang digelar oleh Center for Peace and Social Justice (CEPaSo) Pascasarjana UIN Salatiga, Rabu lalu (6/8).

Bertempat di ruang rapat Kampus 1 UIN Salatiga, forum ini menghadirkan H. Imam Fakhrurozi, S.H.I., M.Pd., akademisi sekaligus peneliti media Islam digital, yang juga tengah menyelesaikan disertasinya tentang pembelajaran Al-Qur’an melalui aplikasi Yassir Lana.

Mengangkat tema “Ngaji di Era Digital: Apakah Aplikasi Bisa Gantikan Ustadz?”, diskusi berlangsung hangat dan reflektif, dihadiri para dosen dan mahasiswa yang aktif dalam kajian keislaman dan teknologi.
Ngaji Digital: Praktis, Tapi Apakah Tetap Otentik?
Dalam pemaparannya, Imam Fakhrurozi menjelaskan bagaimana fenomena dakwah digital kini tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Aplikasi seperti YouTube, TikTok, Spotify, hingga MuslimPro telah menjadi sarana baru bagi masyarakat dalam mengakses ilmu agama—mudah, cepat, dan bisa diakses kapan saja.
“Hari ini, orang bisa belajar Al-Qur’an dari ponsel, dari mana saja. Tapi pertanyaannya, apakah prosesnya tetap mendalam? Apakah ruh pengajaran tetap terjaga?” ungkap Imam.

Ia menekankan bahwa Al-Qur’an bukan hanya teks yang dibaca, tapi juga harus dihayati dengan bimbingan. Mengutip sabda Rasulullah, ia mengingatkan: “Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat memberi syafaat kepada pembacanya.”
Forum ini juga menyinggung hasil penelitian beliau terkait efektivitas aplikasi Yassir Lana dalam mendukung pemahaman Al-Qur’an di kalangan santri di beberapa lokasi penelitian. Temuan awal menunjukkan bahwa aplikasi tersebut membantu dari sisi akses dan efisiensi, namun tetap membutuhkan peran guru dalam memberi kontekstualisasi dan pembimbingan makna.
Ketika Ustadz Bertemu Teknologi
Diskusi makin hidup saat peserta menyinggung soal kualitas konten keislaman di media sosial yang seringkali tidak terverifikasi, bahkan bisa menyesatkan. Ada juga pembahasan menarik tentang bagaimana ustadz harus mulai melek teknologi tanpa kehilangan jati diri keilmuannya.

“Kita tidak bisa menolak digitalisasi. Tapi yang harus dijaga adalah kualitas bimbingan dan orisinalitas ajaran,” ujar salah satu peserta forum.
Forum ini memunculkan banyak pertanyaan kritis, termasuk bagaimana membangun ekosistem ngaji digital yang sehat, serta pentingnya kurasi konten keislaman oleh lembaga yang kompeten.
CEPaSo dan Komitmen Merawat Dialog Ilmiah di Era Disrupsi
Sebagai penutup, forum merumuskan beberapa rekomendasi, di antaranya perlunya pengembangan fitur pembelajaran interaktif dalam aplikasi Yassir Lana, serta pendalaman teori-teori pendidikan digital dalam konteks Islam.

Melalui tema yang menyentuh langsung kehidupan sehari-hari, Wednesday Forum ini kembali membuktikan diri sebagai ruang diskusi yang inovatif, reflektif, dan kontekstual. CEPaSo terus berkomitmen menjadi jembatan antara perkembangan teknologi dan nilai-nilai keislaman yang otentik dan membumi.
Karena hari ini, belajar agama tak lagi soal datang ke majelis, tapi juga soal bagaimana kita memaknai layar kecil di genggaman—sebagai wasilah, bukan pengganti. (MAN)