Salatiga, 2 Mei 2025 – Pertanyaan fundamental tentang makna agama menjadi sorotan utama dalam Interdisciplinary Colloquium yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana UIN Salatiga pada Jumat (2/5). Mengusung tema besar “Religion and Decolonial Studies”, kegiatan ini menggugah kembali perdebatan klasik namun krusial: apa itu agama?, dan bagaimana sekularisme telah membentuk pemahaman kita terhadapnya.

Dalam pemaparannya, Prof. Lena Salaymeh dari Universite Paris Sciences et Lettres, France mengurai bahwa hingga kini, tidak ada konsensus universal mengenai definisi agama. Dalam kerangka ideologi sekularisme, agama sering didefinisikan bukan melalui ciri-cirinya sendiri, tetapi sebagai lawan dari yang sekuler. Sekularisme mendefinisikan agama sebagai sesuatu yang “non-sekuler”—yakni sesuatu yang dianggap berada di luar ruang publik, khususnya di luar ranah politik, hukum, dan kebijakan negara.
Lebih lanjut, dibahas bagaimana definisi ini tidak netral, melainkan bersifat ideologis dan historis. Sekularisme sebagai produk modernitas Barat, menurut pembicara, telah memaksakan batasan-batasan tertentu terhadap peran agama dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, khususnya di negara-negara pascakolonial, kerangka ini diadopsi tanpa kajian kritis, sehingga menyebabkan penyempitan fungsi agama dalam kehidupan publik, termasuk dalam diskursus akademik dan kebijakan.

Diskusi dalam colloquium tersebut membuka ruang dialog yang mendalam di antara para peserta, yang terdiri dari akademisi lintas bidang, mahasiswa, serta peminat kajian agama. Mereka menyoroti pentingnya membebaskan studi agama—terutama Islam—dari definisi yang dibentuk oleh paradigma sekuler kolonial, dan mendorong lahirnya pendekatan yang lebih kontekstual serta berpijak pada pengalaman umat beragama itu sendiri.
Direktur Pascasarjana UIN Salatiga dalam sambutannya menyatakan bahwa acara ini merupakan langkah strategis untuk mengkritisi kategori-kategori konseptual yang selama ini dianggap mapan. Ia menekankan bahwa dekolonisasi pengetahuan bukan berarti menolak diskursus global, melainkan menghadirkannya secara adil dan setara dengan perspektif dunia Islam dan Selatan Global. (MAN).