Kategori
Berita

Munajat PaparkanGlobal-to-Local Geopoliticsdalam Seminar Internasional CEPASO

Salatiga – Munajat tampil sebagai narasumber dalam Seminar Internasional CEPASO 2025 yang diselenggarakan pada Senin, 17 November 2025, bertempat di Hotel Grand Wahid, Kota Salatiga. Seminar bertema “Religion, Politics, and Peace Building: Critical Perspectives” ini menghadirkan akademisi, praktisi, dan pemangku kepentingan dari berbagai negara untuk membahas tantangan dan strategi membangun perdamaian di tengah konflik berbasis agama, etnis, dan politik.

Dalam paparannya, Munajat membahas konsep Global-to-Local Geopolitics dan bagaimana dinamika konflik global dapat membentuk ancaman konflik dan kekerasan di Indonesia. Ia menekankan pentingnya memahami konflik di negara-negara mayoritas Muslim dan kawasan strategis dunia sebagai langkah pencegahan. Beberapa contoh konflik yang disorot meliputi perang sipil di Suriah, konflik Saudi–Houthi di Yaman, ketidakstabilan pasca-invasi AS di Irak, konflik Palestina–Israel, perang faksi di Libya, serta ketegangan geopolitik Iran–AS. Di Afrika Utara dan Sub-Sahara, konflik Sudan, krisis Somalia, dan insurgensi ekstremis di Mali dan Nigeria Utara menjadi perhatian, sementara di Asia Tengah dan Kaukasus konflik Afghanistan dan Chechnya, serta di Asia Tenggara krisis Rohingya di Myanmar, konflik Moro di Filipina Selatan, dan konflik Patani di Thailand Selatan turut dijadikan rujukan.

Munajat juga menyoroti tantangan domestik Indonesia, termasuk pelanggaran kebebasan beragama, konflik Sunni–Syiah, isu Ahmadiyah dan minoritas lain, serta kekerasan ekstremis dan terorisme. Ia menjelaskan bahwa fenomena Collective Violence, kekerasan kelompok terhadap kelompok lain, sering muncul dari moral disengagement dan persepsi ancaman. Pendekatan Human Security menjadi sorotan utama dalam strategi perdamaian yang disampaikannya, dengan menempatkan perlindungan dan pemberdayaan individu sebagai prioritas, serta mengantisipasi ancaman berupa ketidakamanan ekonomi, pangan, kesehatan, degradasi lingkungan, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Munajat memaparkan strategi peacebuilding berkelanjutan melalui empat dimensi: pencegahan konflik melalui literasi media, regulasi anti-provokasi, dan sistem peringatan dini; resolusi konflik melalui mediasi, kepemimpinan agama/adat, dan dialog multi-pemangku kepentingan; pemulihan pasca-konflik melalui rekonstruksi, penyembuhan trauma, dan reintegrasi mantan kombatan; serta pembangunan perdamaian jangka panjang melalui pendidikan perdamaian, deradikalisasi, dan reformasi kebijakan. Ia menekankan bahwa strategi ini harus dijalankan secara multi-sektoral dan interdisipliner, melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, sektor swasta, dan aktor kemanusiaan. Munajat menutup presentasinya dengan menegaskan, “Memahami konflik global bukan sekadar wawasan akademik. Ini adalah langkah strategis untuk mencegah kekerasan dan membangun perdamaian yang berkelanjutan di Indonesia.” (MAN)

Kategori
Berita

Dari Liberal Peace ke Just Peace: Perspektif Sumanto Al Qurtuby dalam Seminar Internasional CEPASO

Salatiga – Di Hotel Grand Wahid, Kota Salatiga, pada Senin, 17 November 2025, suasana seminar internasional CEPASO 2025 menjadi sarat wawasan ketika Sumanto Al Qurtuby dari Satya Wacana Christian University memaparkan kritiknya terhadap kerangka liberal peace yang selama ini menjadi acuan dominan dalam pembangunan perdamaian global. Dengan tema “Religion, Politics, and Peacebuilding: Critical Perspectives”, sesi ini menghadirkan pandangan segar tentang bagaimana pendekatan Barat sering gagal menghadapi kompleksitas konflik di berbagai belahan dunia.

Al Qurtuby menjelaskan bahwa kerangka liberal peace berasumsi bahwa pembangunan ekonomi, demokrasi, dan kontrol politik masyarakat akan secara otomatis membawa perdamaian. Namun, pengalaman di Timur Tengah dan Asia Tenggara menunjukkan sebaliknya. “Tidak semua individu atau organisasi masyarakat sipil memiliki niat baik membangun perdamaian,” ujarnya. Bahkan, beberapa CSO dan aktor lokal kadang berperan dalam memperkuat kekerasan atau memicu konflik baru.

Selain itu, Al Qurtuby menyoroti bagaimana liberal peace sering mengabaikan kepentingan kelompok lokal, struktur sosial-politik, dan potensi agama sebagai sumber perdamaian. Ia menekankan bahwa pendekatan ini terlalu fokus pada aspek politik dan ekonomi, sehingga gagal menangkap dinamika budaya dan nilai-nilai sosial yang membentuk perdamaian berkelanjutan.

Dalam presentasinya, Al Qurtuby juga memperkenalkan konsep peacebuilding yang lebih luas: negative peacebuildinguntuk menghentikan kekerasan langsung, positive peacebuilding yang menangani faktor struktural penyebab konflik, dan just peacebuilding, yang menekankan keadilan sebagai inti perdamaian. Just peacebuilding, menurutnya, menekankan transformasi hubungan antarbudaya dan penyembuhan dari ketidakadilan struktural, sehingga perdamaian tidak hanya berhenti pada penghentian konflik fisik tetapi juga menangani akar ketidakadilan.

Al Qurtuby menutup sesi dengan menegaskan perlunya strategi peacebuilding yang bersifat taktis dan strategis, membangun jaringan luas antaraktor perdamaian, dan menggabungkan elemen sekuler serta religius. Pendekatan ini, katanya, adalah fondasi bagi kerangka perdamaian pasca-liberal yang lebih adil, inklusif, dan mampu menjawab tantangan konflik masa kini. (MAN).

Kategori
Berita

Stéphane Lacroix Paparkan Pelajaran Perdamaian dari Timur Tengah dalam Seminar Internasional CEPASO 

Salatiga – Di tengah suasana Hotel Grand Wahid, Kota Salatiga, pada Senin, 17 November 2025, Stéphane Lacroix membuka wawasan peserta Seminar Internasional CEPASO 2025 tentang bagaimana pelajaran dari Timur Tengah dapat membentuk strategi perdamaian di seluruh dunia. Sebagai Associate Professor of Political Science dan Co-Director Program on Religious Studies di Sciences Po, Paris, Prancis, Lacroix memadukan analisis akademis dan pengalaman lapangan untuk menjelaskan hubungan kompleks antara agama, politik, dan perdamaian.

Dalam sesi yang penuh perhatian ini, Lacroix menyoroti periode antara perang dunia (inter-war period) sebagai fase krusial yang membentuk negara-negara modern di Timur Tengah. Ia menjelaskan bagaimana keragaman etno-religius di Lebanon, Suriah, dan Irak—dari komunitas Maronit, Druze, Sunni, Syiah, hingga kelompok minoritas lain—menjadi sumber kekayaan budaya sekaligus potensi konflik. “Ketegangan tidak hanya muncul dari identitas agama,” ujar Lacroix, “tetapi juga dari politik lokal yang terfragmentasi dan pengaruh kekuatan eksternal yang membentuk dinamika konflik yang terus berlangsung hingga hari ini.”

Lacroix menekankan bahwa pelajaran dari sejarah sosial-politik Timur Tengah memiliki relevansi praktis bagi perdamaian di negara lain, termasuk Indonesia. Ia menekankan pentingnya inklusivitas politik, dialog antar-komunitas berbasis kesetaraan, serta pengakuan terhadap pluralitas identitas. Pendekatan ini dianggap vital untuk mencegah eskalasi konflik, memperkuat kohesi sosial, dan membangun perdamaian yang berkelanjutan.

Acara ini berlangsung interaktif, memungkinkan peserta dari berbagai latar belakang—akademisi, praktisi, hingga pembuat kebijakan—untuk berdiskusi dan mengeksplorasi strategi perdamaian yang dapat diterapkan di konteks lokal. Lacroix menutup sesi dengan pesan yang kuat: “Memahami sejarah, politik, dan keragaman masyarakat bukan sekadar teori. Ini adalah fondasi praktis untuk merancang strategi perdamaian yang efektif, mengurangi ketegangan, dan mempromosikan harmoni sosial di masyarakat yang heterogen.”

Dengan perspektif yang menggabungkan sejarah, analisis politik, dan keragaman sosial, Lacroix berhasil menyajikan wawasan yang tidak hanya relevan secara akademik, tetapi juga aplikatif bagi siapa pun yang bekerja untuk membangun perdamaian di dunia nyata. (MAN).

Kategori
Berita

Munirah Alatas Bahas Kekerasan Struktural dan Pendidikan untuk Perdamaian Asia Tenggara di Seminar Internasional CEPASO 

Salatiga, 17 November 2025 — Dalam Seminar Internasional CEPASO 2025 yang berlangsung di Hotel Grand Wahid, Salatiga, Munirah Alatas, Independent Scholar, Author & Researcher asal Malaysia, menghadirkan paparan mendalam tentang “Structural Violence, Education, and Peace Building” dengan fokus pada kawasan Asia Tenggara.

Munirah memulai dengan mengulas bagaimana Asia Tenggara selama ribuan tahun tidak pernah memiliki satu identitas atau nama tunggal yang diadopsi oleh seluruh komunitas di kawasan tersebut. Hal ini disebabkan oleh perbedaan identitas lokal yang lebih mengacu pada daratan dan wilayah maritim. Nama “Southeast Asia” sendiri baru muncul sebagai hasil konstruksi geopolitik kolonial dan upaya aliansi kekuatan besar pasca Perang Dunia II.

Kawasan ini terdiri dari penduduk daratan yang bermigrasi dari wilayah utara dan membawa bahasa Austro-Asiatic, serta penduduk maritim yang bermigrasi dari selatan-timur China dengan bahasa Malayo-Polynesian. Penduduk maritim ini sangat mobile, aktif dalam perdagangan, dan membangun budaya “keterbukaan” yang menjadi ciri khas kawasan.

Peran Kekuasaan Maritim dan Strategi Pascakolonial turut dibahas, di mana kekuatan-kekuatan kolonial berusaha menguasai perdagangan maritim dan membentuk identitas geopolitik yang bertujuan menjaga pengaruh pascakolonial mereka, termasuk melalui penamaan kawasan “Southeast Asia”.

Munirah juga mengkritisi pendekatan perdamaian mainstream yang masih terfokus pada geopolitik kekuatan besar dan keamanan militer, yang menurutnya tidak cukup memadai untuk kawasan dengan sejarah interaksi sosial yang kaya dan terbuka. Ia menegaskan bahwa perdamaian sejati harus dipahami dari perspektif komunitas dan subnasional, bukan hanya sekadar ketiadaan perang.

Kekerasan Struktural menjadi fokus utama dalam pemaparannya, di mana Munirah menjelaskan bahwa kekerasan jenis ini sering tersembunyi dan sulit diidentifikasi karena terinternalisasi dalam struktur sosial dan institusi. Dalam konteks pendidikan tinggi, kekerasan struktural ini muncul dalam bentuk diskriminasi penerimaan mahasiswa, penekanan jenis pengetahuan tertentu, distorsi kurikulum sejarah, budaya “bodek” dan nepotisme, serta lemahnya kualitas akademik.

Mengutip Syed Hussein Alatas, Munirah menguraikan bagaimana korupsi sebagai bagian dari kekerasan struktural melibatkan hubungan rahasia dan saling menguntungkan yang menomorduakan kepentingan publik demi keuntungan pribadi.

Untuk menghadapi tantangan geopolitik, Munirah mengajak ASEAN untuk menggunakan zona perdamaian bebas nuklir (ZOPFAN) sebagai landasan bersama dalam mengatur hubungan militer dan keamanan dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China. Selain itu, perlu adanya kesepakatan mengenai akses militer dan kehadiran pangkalan asing di wilayah ASEAN.

Dalam konteks keagamaan, Munirah mengingatkan krisis sektarianisme dalam umat Islam dan mengangkat pentingnya Amman Message sebagai wacana persatuan yang menolak hegemonisasi pengetahuan dan mengakui keberagaman sebagai fondasi kesatuan.

Munirah juga mengajak reformasi pendidikan tinggi dengan menghidupkan kembali ilmu sosial dan humaniora, serta memasukkan karya-karya yang mengkritisi dampak kolonialisme ke dalam kurikulum. Ia menyoroti kondisi “zombifikasi” universitas yang menjalankan ritual akademik tanpa esensi kehidupan intelektual yang sehat.

Seminar Internasional CEPASO 2025 dengan tema “Religion, Politics, and Peace Building: Critical Perspectives” ini menjadi wadah penting bagi akademisi dan praktisi dari berbagai negara untuk berdiskusi dan merumuskan solusi bagi masa depan kawasan yang damai dan inklusif. (MAN)

Kategori
Berita

Seminar Internasional CEPASO Pascasarjana UIN Salatiga Diikuti Peserta dari Tujuh Negara

Salatiga, 17 November 2025 — Seminar Internasional CEPASO: Center for Education, Peace, and Social Justice yang diselenggarakan oleh Pascasarjana UIN Salatiga di Hotel Grand Wahid Salatiga berhasil menghadirkan peserta dari lebih dari tujuh negara, yakni Indonesia, Arab Saudi, India, Filipina, Prancis, Malaysia, dan Yaman. Kegiatan ini berlangsung pada Senin (17/11) dan menegaskan posisi CEPASO sebagai forum akademik yang aktif mendorong dialog lintas budaya dan disiplin ilmu.

Forum Global untuk Pendidikan, Perdamaian, dan Keadilan Sosial

CEPASO merupakan pusat studi yang lahir dari Pascasarjana UIN Salatiga dengan fokus pada pendidikan, perdamaian, rekonsiliasi, dan keadilan sosial. Seminar internasional ini menjadi platform bagi akademisi, peneliti, dan praktisi dari berbagai negara untuk bertukar gagasan, membahas dinamika konflik, dan merumuskan solusi dari perspektif ilmiah dan multidisipliner.

“Konferensi ini merupakan wujud nyata komitmen kita untuk memperkuat kerja sama internasional dalam isu-isu perdamaian, moderasi beragama, dan climate justice,” ujar Prof. Dr. phil Asfa Widiyanto, M.A. Direktur Pascasarjana UIN Salatiga, dalam sambutan pembukaannya.

Keragaman Perspektif sebagai Kekuatan Forum

Dengan kehadiran peserta dari Asia, Timur Tengah, dan Eropa, seminar ini menghadirkan diskusi lintas budaya yang kaya perspektif. Topik yang dibahas meliputi resolusi konflik, rekonsiliasi lintas disiplin, pendidikan perdamaian, dan implikasi perubahan iklim terhadap keadilan sosial. Hal ini menjadikan CEPASO sebagai forum penting untuk menguatkan wawasan global dan kolaborasi akademik.

Direktur Eksekutif CEPASO: Memperluas Jejaring Internasional

Dr. Muhammad Aji Nugroho, Direktur Eksekutif CEPASO, menegaskan bahwa konferensi ini tidak hanya menjadi ajang diskusi, tetapi juga memperkuat jaringan internasional, membuka peluang riset bersama, dan memperkuat kontribusi UIN Salatiga dalam merespons isu-isu global. “Keragaman peserta menjadi modal penting untuk menciptakan solusi yang inklusif dan relevan di berbagai konteks,” kata Direktur Eksekutif CEPASO.

Komitmen Pascasarjana UIN Salatiga

Seminar Internasional CEPASO merupakan kegiatan rutin yang menegaskan peran Pascasarjana UIN Salatiga sebagai pusat kajian ilmiah yang responsif terhadap tantangan global. Dengan kehadiran peserta dari tujuh negara, forum ini semakin memperkuat visi UIN Salatiga dalam membangun ilmu pengetahuan yang berpihak pada perdamaian, moderasi, dan keadilan sosial. (MAN)

Kategori
Berita

CEPASO 2025: Ratusan Akademisi dan Aktivis Bersatu Bahas Agama, Politik, dan Perdamaian

Ratusan peserta dari 27 instansi hadir, mulai perguruan tinggi, lembaga pemerintah, hingga ormas

Salatiga, 17 November 2025 — Seminar Internasional CEPASO: Center for Education, Peace, and Social Justice yang digelar di Hotel Grand Wahid Salatiga berlangsung dengan antusiasme tinggi. Tema seminar kali ini, “Religion, Politics, and Peace Building: Critical Perspectives”, menjadi fokus diskusi peserta dari 27 instansi dan organisasi, termasuk perguruan tinggi, lembaga pemerintah, lembaga penelitian, dan organisasi masyarakat. Seminar ini membahas bagaimana agama, politik, dan dinamika sosial dapat dijadikan instrumen untuk membangun perdamaian yang inklusif dan berkelanjutan.

Peserta seminar berasal dari perguruan tinggi ternama seperti UIN Bandung, UIN Surabaya, UIN Walisongo, UKSW, INISNU Temanggung, STAI-PATI, UDINUS, Universitas Duta Bangsa, Tiga Serangkai University, dan BLA Semarang. Selain itu, lembaga pemerintah dan penelitian seperti BRIN dan Kementerian Agama turut hadir, bersama organisasi masyarakat dan ormas seperti PCNU Kota Salatiga, PDM Kota Salatiga, FKUB, MUI, Percik, serta sejumlah komunitas lainnya. Keberagaman peserta membuka ruang diskusi yang kaya dan memperkuat jejaring akademik serta kolaborasi lintas lembaga.

Dialog kritis lintas disiplin dan negara bahas agama, politik, dan perdamaian

Seminar menghadirkan pembicara dari berbagai disiplin ilmu dan negara, yang membahas isu-isu strategis mulai dari moderasi beragama, rekonsiliasi, politik untuk perdamaian, hingga climate justice. Peserta aktif berdiskusi, bertanya, dan berbagi pengalaman, menjadikan seminar ini tidak hanya forum akademik, tetapi juga arena kolaborasi internasional yang kritis dan produktif.

Rektor UIN Salatiga, Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawi, tekankan kolaborasi sebagai kunci solusi

Dalam sambutannya, Rektor UIN Salatiga, Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawi, M.Ag., menekankan bahwa hubungan antara agama dan politik memiliki peran penting dalam membangun perdamaian. Ia menyebut seminar ini sebagai momentum strategis untuk memperkuat dialog kritis dan kolaborasi lintas lembaga, demi menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Direktur Pascasarjana soroti urgensi tema seminar

Direktur Pascasarjana UIN Salatiga, Prof. Dr. phil. Asfa Widiyanto, M.A., menekankan bahwa tema seminar kali ini sangat relevan dengan tantangan kontemporer. Menurutnya, memahami keterkaitan agama, politik, dan pembangunan perdamaian secara kritis penting untuk menghasilkan gagasan yang berdampak pada kebijakan, penelitian, dan praktik sosial. Seminar ini diharapkan memicu pemikiran baru dan strategi kolaboratif dalam menghadapi konflik, sekaligus mendorong keadilan sosial dan perdamaian yang berkelanjutan.

CEPASO: Pusat Kajian dan Dialog Global

Kegiatan ini kembali menegaskan peran CEPASO sebagai pusat kajian yang responsif terhadap isu kontemporer sekaligus platform strategis bagi dialog internasional. Dengan kehadiran peserta dari berbagai latar belakang, seminar ini membuka peluang kolaborasi baru, memperluas wawasan, dan mendorong inovasi dalam membangun masyarakat yang damai, inklusif, dan berkeadilan. (MAN)

Dengarkan Teks