Sebanyak sepuluh mahasiswa Program Studi Magister Ekonomi Syariah, Pascasarjana UIN Salatiga, berhasil tampil sebagai presenter dalam ajang internasional bergengsi, The 5th International Conference on Islam, Law, and Society (INCOILS V). Konferensi ini diselenggarakan pada 22 November 2025 bertempat di Hotel Grand Rohan Yogyakarta.
INCOILS V merupakan forum ilmiah internasional yang mempertemukan akademisi, peneliti, dan praktisi dari berbagai disiplin ilmu untuk mendiskusikan isu-isu kontemporer terkait Islam, hukum, dan masyarakat. Pada penyelenggaraan tahun ini, kegiatan tersebut dihadiri oleh peserta dan narasumber dari empat negara, yaitu Skotlandia, Perancis, Amerika Serikat (USA), dan Indonesia, sehingga menciptakan ruang akademik yang kaya akan perspektif global.
Kehadiran sepuluh mahasiswa Magister Ekonomi Syariah sebagai presenter menjadi capaian membanggakan, sekaligus menunjukkan kualitas dan kesiapan akademik mahasiswa dalam berpartisipasi pada forum ilmiah internasional. Para mahasiswa mempresentasikan hasil penelitian mereka di hadapan akademisi dan peneliti dari berbagai negara, yang memberikan ruang untuk berdiskusi, bertukar gagasan, serta menguatkan jejaring akademik internasional.
Kontribusi mahasiswa dalam konferensi ini diharapkan mampu meningkatkan reputasi Program Studi Magister Ekonomi Syariah dan memperluas keterlibatan mahasiswa dalam penelitian bertaraf internasional. Partisipasi aktif ini juga menjadi bukti komitmen Pascasarjana UIN Salatiga dalam mendorong mahasiswa untuk terus meningkatkan kualitas riset dan wawasan global. (ECA)
Program Studi Magister Ekonomi Syariah, Pascasarjana UIN Salatiga, menyelenggarakan Kuliah Tamu dengan tema “Peran Strategis Riset Eksperimen dalam Pengembangan Ilmu Ekonomi dan Bisnis Syariah” pada Kamis, 20 November 2025, bertempat di Kampus 1 Pascasarjana UIN Salatiga. Kegiatan ini menjadi salah satu agenda akademik yang bertujuan memperkuat wawasan metodologis mahasiswa dalam bidang riset kontemporer, khususnya riset eksperimental yang semakin relevan dalam kajian ekonomi digital berbasis syariah.
Acara dibuka secara resmi oleh Kaprodi Magister Ekonomi Syariah, Dr. Ahmad Mifdlol Muthohar, Lc., M.S.I. Dalam sambutannya, beliau menegaskan pentingnya peningkatan kapasitas riset mahasiswa melalui pemahaman terhadap berbagai pendekatan ilmiah modern, termasuk riset eksperimen yang memiliki potensi besar dalam menghasilkan temuan empiris yang kuat dan aplikatif.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber Dr. Didik Setyawan, S.E., M.M., M.Sc., CDM, seorang akademisi dan peneliti yang berpengalaman dalam penelitian eksperimen. Dalam pemaparannya, beliau menekankan bahwa metode riset eksperimental memiliki keunggulan dalam mengamati perilaku individu secara langsung melalui skenario yang terkontrol. Pendekatan ini sangat relevan untuk menguji berbagai aspek dalam ekonomi dan bisnis syariah, termasuk preferensi halal, etika transaksi, pengambilan keputusan, dan perilaku konsumen di era ekonomi digital.
Dr. Didik juga memaparkan contoh konkret dari disertasinya yang menggunakan desain eksperimen untuk meneliti perilaku belanja online. Pengalaman tersebut menunjukkan bagaimana riset eksperimen mampu menjelaskan dinamika perilaku ekonomi yang tidak selalu terlihat melalui metode survei konvensional.
Acara ini dipandu oleh moderator sekaligus Sesprodi Magister Ekonomi Syariah, Dr. Edi Cahyono, S.E., M.M. Diskusi berlangsung aktif, dengan berbagai pertanyaan dari mahasiswa terkait teknik merancang eksperimen, pemilihan variabel, serta peluang penerapan metode ini dalam penelitian tesis maupun publikasi ilmiah
Melalui kegiatan ini, Program Studi Magister Ekonomi Syariah berharap mahasiswa semakin terdorong untuk mengembangkan riset berbasis bukti (evidence-based research) yang inovatif, akurat, dan memiliki kontribusi signifikan terhadap pengembangan ilmu ekonomi dan bisnis syariah di Indonesia. (ECA)
Salatiga – Munajat tampil sebagai narasumber dalam Seminar Internasional CEPASO 2025 yang diselenggarakan pada Senin, 17 November 2025, bertempat di Hotel Grand Wahid, Kota Salatiga. Seminar bertema “Religion, Politics, and Peace Building: Critical Perspectives” ini menghadirkan akademisi, praktisi, dan pemangku kepentingan dari berbagai negara untuk membahas tantangan dan strategi membangun perdamaian di tengah konflik berbasis agama, etnis, dan politik.
Dalam paparannya, Munajat membahas konsep Global-to-Local Geopolitics dan bagaimana dinamika konflik global dapat membentuk ancaman konflik dan kekerasan di Indonesia. Ia menekankan pentingnya memahami konflik di negara-negara mayoritas Muslim dan kawasan strategis dunia sebagai langkah pencegahan. Beberapa contoh konflik yang disorot meliputi perang sipil di Suriah, konflik Saudi–Houthi di Yaman, ketidakstabilan pasca-invasi AS di Irak, konflik Palestina–Israel, perang faksi di Libya, serta ketegangan geopolitik Iran–AS. Di Afrika Utara dan Sub-Sahara, konflik Sudan, krisis Somalia, dan insurgensi ekstremis di Mali dan Nigeria Utara menjadi perhatian, sementara di Asia Tengah dan Kaukasus konflik Afghanistan dan Chechnya, serta di Asia Tenggara krisis Rohingya di Myanmar, konflik Moro di Filipina Selatan, dan konflik Patani di Thailand Selatan turut dijadikan rujukan.
Munajat juga menyoroti tantangan domestik Indonesia, termasuk pelanggaran kebebasan beragama, konflik Sunni–Syiah, isu Ahmadiyah dan minoritas lain, serta kekerasan ekstremis dan terorisme. Ia menjelaskan bahwa fenomena Collective Violence, kekerasan kelompok terhadap kelompok lain, sering muncul dari moral disengagement dan persepsi ancaman. Pendekatan Human Security menjadi sorotan utama dalam strategi perdamaian yang disampaikannya, dengan menempatkan perlindungan dan pemberdayaan individu sebagai prioritas, serta mengantisipasi ancaman berupa ketidakamanan ekonomi, pangan, kesehatan, degradasi lingkungan, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Munajat memaparkan strategi peacebuilding berkelanjutan melalui empat dimensi: pencegahan konflik melalui literasi media, regulasi anti-provokasi, dan sistem peringatan dini; resolusi konflik melalui mediasi, kepemimpinan agama/adat, dan dialog multi-pemangku kepentingan; pemulihan pasca-konflik melalui rekonstruksi, penyembuhan trauma, dan reintegrasi mantan kombatan; serta pembangunan perdamaian jangka panjang melalui pendidikan perdamaian, deradikalisasi, dan reformasi kebijakan. Ia menekankan bahwa strategi ini harus dijalankan secara multi-sektoral dan interdisipliner, melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, sektor swasta, dan aktor kemanusiaan. Munajat menutup presentasinya dengan menegaskan, “Memahami konflik global bukan sekadar wawasan akademik. Ini adalah langkah strategis untuk mencegah kekerasan dan membangun perdamaian yang berkelanjutan di Indonesia.” (MAN)
Salatiga – Di Hotel Grand Wahid, Kota Salatiga, pada Senin, 17 November 2025, suasana seminar internasional CEPASO 2025 menjadi sarat wawasan ketika Sumanto Al Qurtuby dari Satya Wacana Christian University memaparkan kritiknya terhadap kerangka liberal peace yang selama ini menjadi acuan dominan dalam pembangunan perdamaian global. Dengan tema “Religion, Politics, and Peacebuilding: Critical Perspectives”, sesi ini menghadirkan pandangan segar tentang bagaimana pendekatan Barat sering gagal menghadapi kompleksitas konflik di berbagai belahan dunia.
Al Qurtuby menjelaskan bahwa kerangka liberal peace berasumsi bahwa pembangunan ekonomi, demokrasi, dan kontrol politik masyarakat akan secara otomatis membawa perdamaian. Namun, pengalaman di Timur Tengah dan Asia Tenggara menunjukkan sebaliknya. “Tidak semua individu atau organisasi masyarakat sipil memiliki niat baik membangun perdamaian,” ujarnya. Bahkan, beberapa CSO dan aktor lokal kadang berperan dalam memperkuat kekerasan atau memicu konflik baru.
Selain itu, Al Qurtuby menyoroti bagaimana liberal peace sering mengabaikan kepentingan kelompok lokal, struktur sosial-politik, dan potensi agama sebagai sumber perdamaian. Ia menekankan bahwa pendekatan ini terlalu fokus pada aspek politik dan ekonomi, sehingga gagal menangkap dinamika budaya dan nilai-nilai sosial yang membentuk perdamaian berkelanjutan.
Dalam presentasinya, Al Qurtuby juga memperkenalkan konsep peacebuilding yang lebih luas: negative peacebuildinguntuk menghentikan kekerasan langsung, positive peacebuilding yang menangani faktor struktural penyebab konflik, dan just peacebuilding, yang menekankan keadilan sebagai inti perdamaian. Just peacebuilding, menurutnya, menekankan transformasi hubungan antarbudaya dan penyembuhan dari ketidakadilan struktural, sehingga perdamaian tidak hanya berhenti pada penghentian konflik fisik tetapi juga menangani akar ketidakadilan.
Al Qurtuby menutup sesi dengan menegaskan perlunya strategi peacebuilding yang bersifat taktis dan strategis, membangun jaringan luas antaraktor perdamaian, dan menggabungkan elemen sekuler serta religius. Pendekatan ini, katanya, adalah fondasi bagi kerangka perdamaian pasca-liberal yang lebih adil, inklusif, dan mampu menjawab tantangan konflik masa kini. (MAN).
Salatiga – Di tengah suasana Hotel Grand Wahid, Kota Salatiga, pada Senin, 17 November 2025, Stéphane Lacroix membuka wawasan peserta Seminar Internasional CEPASO 2025 tentang bagaimana pelajaran dari Timur Tengah dapat membentuk strategi perdamaian di seluruh dunia. Sebagai Associate Professor of Political Science dan Co-Director Program on Religious Studies di Sciences Po, Paris, Prancis, Lacroix memadukan analisis akademis dan pengalaman lapangan untuk menjelaskan hubungan kompleks antara agama, politik, dan perdamaian.
Dalam sesi yang penuh perhatian ini, Lacroix menyoroti periode antara perang dunia (inter-war period) sebagai fase krusial yang membentuk negara-negara modern di Timur Tengah. Ia menjelaskan bagaimana keragaman etno-religius di Lebanon, Suriah, dan Irak—dari komunitas Maronit, Druze, Sunni, Syiah, hingga kelompok minoritas lain—menjadi sumber kekayaan budaya sekaligus potensi konflik. “Ketegangan tidak hanya muncul dari identitas agama,” ujar Lacroix, “tetapi juga dari politik lokal yang terfragmentasi dan pengaruh kekuatan eksternal yang membentuk dinamika konflik yang terus berlangsung hingga hari ini.”
Lacroix menekankan bahwa pelajaran dari sejarah sosial-politik Timur Tengah memiliki relevansi praktis bagi perdamaian di negara lain, termasuk Indonesia. Ia menekankan pentingnya inklusivitas politik, dialog antar-komunitas berbasis kesetaraan, serta pengakuan terhadap pluralitas identitas. Pendekatan ini dianggap vital untuk mencegah eskalasi konflik, memperkuat kohesi sosial, dan membangun perdamaian yang berkelanjutan.
Acara ini berlangsung interaktif, memungkinkan peserta dari berbagai latar belakang—akademisi, praktisi, hingga pembuat kebijakan—untuk berdiskusi dan mengeksplorasi strategi perdamaian yang dapat diterapkan di konteks lokal. Lacroix menutup sesi dengan pesan yang kuat: “Memahami sejarah, politik, dan keragaman masyarakat bukan sekadar teori. Ini adalah fondasi praktis untuk merancang strategi perdamaian yang efektif, mengurangi ketegangan, dan mempromosikan harmoni sosial di masyarakat yang heterogen.”
Dengan perspektif yang menggabungkan sejarah, analisis politik, dan keragaman sosial, Lacroix berhasil menyajikan wawasan yang tidak hanya relevan secara akademik, tetapi juga aplikatif bagi siapa pun yang bekerja untuk membangun perdamaian di dunia nyata. (MAN).
Salatiga, 17 November 2025 — Dalam Seminar Internasional CEPASO 2025 yang berlangsung di Hotel Grand Wahid, Salatiga, Munirah Alatas, Independent Scholar, Author & Researcher asal Malaysia, menghadirkan paparan mendalam tentang “Structural Violence, Education, and Peace Building” dengan fokus pada kawasan Asia Tenggara.
Munirah memulai dengan mengulas bagaimana Asia Tenggara selama ribuan tahun tidak pernah memiliki satu identitas atau nama tunggal yang diadopsi oleh seluruh komunitas di kawasan tersebut. Hal ini disebabkan oleh perbedaan identitas lokal yang lebih mengacu pada daratan dan wilayah maritim. Nama “Southeast Asia” sendiri baru muncul sebagai hasil konstruksi geopolitik kolonial dan upaya aliansi kekuatan besar pasca Perang Dunia II.
Kawasan ini terdiri dari penduduk daratan yang bermigrasi dari wilayah utara dan membawa bahasa Austro-Asiatic, serta penduduk maritim yang bermigrasi dari selatan-timur China dengan bahasa Malayo-Polynesian. Penduduk maritim ini sangat mobile, aktif dalam perdagangan, dan membangun budaya “keterbukaan” yang menjadi ciri khas kawasan.
Peran Kekuasaan Maritim dan Strategi Pascakolonial turut dibahas, di mana kekuatan-kekuatan kolonial berusaha menguasai perdagangan maritim dan membentuk identitas geopolitik yang bertujuan menjaga pengaruh pascakolonial mereka, termasuk melalui penamaan kawasan “Southeast Asia”.
Munirah juga mengkritisi pendekatan perdamaian mainstream yang masih terfokus pada geopolitik kekuatan besar dan keamanan militer, yang menurutnya tidak cukup memadai untuk kawasan dengan sejarah interaksi sosial yang kaya dan terbuka. Ia menegaskan bahwa perdamaian sejati harus dipahami dari perspektif komunitas dan subnasional, bukan hanya sekadar ketiadaan perang.
Kekerasan Struktural menjadi fokus utama dalam pemaparannya, di mana Munirah menjelaskan bahwa kekerasan jenis ini sering tersembunyi dan sulit diidentifikasi karena terinternalisasi dalam struktur sosial dan institusi. Dalam konteks pendidikan tinggi, kekerasan struktural ini muncul dalam bentuk diskriminasi penerimaan mahasiswa, penekanan jenis pengetahuan tertentu, distorsi kurikulum sejarah, budaya “bodek” dan nepotisme, serta lemahnya kualitas akademik.
Mengutip Syed Hussein Alatas, Munirah menguraikan bagaimana korupsi sebagai bagian dari kekerasan struktural melibatkan hubungan rahasia dan saling menguntungkan yang menomorduakan kepentingan publik demi keuntungan pribadi.
Untuk menghadapi tantangan geopolitik, Munirah mengajak ASEAN untuk menggunakan zona perdamaian bebas nuklir (ZOPFAN) sebagai landasan bersama dalam mengatur hubungan militer dan keamanan dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China. Selain itu, perlu adanya kesepakatan mengenai akses militer dan kehadiran pangkalan asing di wilayah ASEAN.
Dalam konteks keagamaan, Munirah mengingatkan krisis sektarianisme dalam umat Islam dan mengangkat pentingnya Amman Message sebagai wacana persatuan yang menolak hegemonisasi pengetahuan dan mengakui keberagaman sebagai fondasi kesatuan.
Munirah juga mengajak reformasi pendidikan tinggi dengan menghidupkan kembali ilmu sosial dan humaniora, serta memasukkan karya-karya yang mengkritisi dampak kolonialisme ke dalam kurikulum. Ia menyoroti kondisi “zombifikasi” universitas yang menjalankan ritual akademik tanpa esensi kehidupan intelektual yang sehat.
Seminar Internasional CEPASO 2025 dengan tema “Religion, Politics, and Peace Building: Critical Perspectives” ini menjadi wadah penting bagi akademisi dan praktisi dari berbagai negara untuk berdiskusi dan merumuskan solusi bagi masa depan kawasan yang damai dan inklusif. (MAN)