Kategori: Dosen
Berfikir Positif Itu Menyehatkan
Dinamisasi Jilbab di Indonesia
Fenomena jilbab mengundang perhatian Mr. Hyung-Jun Kim, seorang Professor Antropologi Budaya, Kwangwon National University, Korea Selatan. Minat meneliti jilbab berawal dari permintaan rekannya yang mempunyai perusahaan kosmetik di Korea agar meneliti Konsep Kecantikan Dalam Tradisi Jawa. Namun begitu tiba di Indonesia, dia melihat banyak wanita Indonesia terutama Muslimah yang menutupi rambut mereka. Pada mulanya Prof Kim beranggapan bahwa seorang Muslimah yang menutupi rambutnya akan kehilangan pesona kecantikannya. Lama kelamaan anggapan tersebut pudar setelah terkonfirmasi dengan salah satu responden penelitiannya yang merasa lebih cantik ketika mengenakan jilbab. Bahkan respondennya mendemonstrasikan berabagai model cara mengenakan jilbab. Berangkat dari pengalaman tersebut, mulailah dia tertarik mengadakan penelitian tentang Jilbab.
Sekelumit kisah tersebut disampaikan oleh Prof. Kim dalam kegiatan Interdisciplinary Colloquium minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2017, di Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Kegiatan ini bertemakan Hijaber vs Jilboob: Diversification of Hijab and Reaction of Indonesian Conservative Muslims. Sekitar tujuh puluhan dosen IAIN Salatiga bergabung dan terlibat secara aktif dalam diskusi tersebut. Mereka antusias mengikuti paparan Prof. Kim di ruang rapat utama Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, gedung K.H. Ahmad Dahlan Kampus tiga yang berlokasi di Jalan Lingkar Selatan kota Salatiga.
Lebih jauh Prof Kim menuturkan bahwa mulanya pakaian wanita secara umum merupakan urusan personal dan internal kaum perempuan. Orang lain terutama kaum lelaki tidak pernah mempersoalkan pakian wanita termasuk ketika sebagian Muslimah mengenakan kerudung dan jilbab. Sampai pada tahun 1980, Muslimah Indonesia masih akrab dengan istilah kerudung dan memasuki tahun 1990-an istilah jilbab mulai dikenal publik. Wacana publik tentang hijab mulai populer sekitar tahun 2000an termasuk jilbab gaul, menutup aurat tetapi dengan model yang indah dan menawan. Tepatnya tahun 2010 muncul Hijabers Community Jakarta, suatu komunitas yang terdiri para desainer, orang kaya dan pebisnis. Kelompok ini membuat kriteria bagaimana Muslimah idealnya mengenakan jilbab, (1) Mengenakan jilbab yang indah merupakan ibadah menutup aurat sesuai dengan Hadits yang menyebutkan bahwa Allah Swt mencintai keindahan. Ajaran yang mereka pahami bahwa Allah Swt memperbolehkan hijab untuk mencari keindahan. Hijaber ini tidak mau mencari argumentasi itu saja tetapi yang paling pokok, (2) syarat fiqih tebal longgar dan tidak transparan. Para Hiijaber menafsirkan dengan logikanya bahwa ketika syarat itu dipenuhi, maka diperbolehkan. Selain itu dalam setiap kegiatan, mereka mengawali acaranya dengan kultum dan doa singkat untuk menggamalkan ajaran Islam yang sangat melindungi dan menyayangi orang lain.
Empat tahun kemudian, tahun 2014 tepatnya muncul istilah jilboob, jilbab gaul (ketat) yang menonjolkan atau memperlihatkan bagian tertentu anggota badan kaum perempuan. Menurut Prof Kim, istilah ini dimunculkan oleh kaum laki-laki yang sengaja ingin mengkonsumsi tubuh wanita sebagai alat memuaskan nafsu birahinya. Hal ini berbeda dengan pengakuan para pelaku jilboob. Mereka menepis anggapan tersebut. Ada tiga motivasi mereka mengenakan jilbab ketat (jilboob); (1) menurut responden Muslimah terpelajar, mereka menyatakan bahwa berpakaian merupakan bagian dari hak asasi manusia. Setiap orang bebas memilih pakaian yang mereka sukai, (2) bagi responden tertentu, membeli pakian jilbab yang longgar dan gaul harganya mahal. Mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli hijab yang mahal tersebut dan (3) yang terakhir ada juga yang menyampaikan bahwa berpakaian itu ya suka-suka, mana yang mereka sukai ya itulah yang akan mereka kenakan. Bahkan berpakaian itu yang terpenting adalah fleksibel, praktis dan nyaman sesuai dengan aktifitas yang mereka jalani.
Setelah muncul jilboob, wacana publik merespon dengan cara yang berbeda-beda. Pertama, respon inklusif artinya komunitas hijaber menganggap bahwa Muslimah yang mengenakan jilboob disebabkan mereka sedang berproses belajar mengenakan jilbab atau menutup aurat. Hijaber melihatnya jilboob adalah hal netral atau positif bagi setiap Muslimah yang akan berusaha hijrah menutup aurat. Kedua, eksklusif maksudnya Muslimah yang memakai jilboob haram hukumnya. Hal ini sesuai fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terutama fatwa tentang pronografi dan porno aksi. Berdasarkan fatwa tersebut, kemudian komunitas hijaber merubah responnya yang semula inklusif menjadi eksklusif. Komunitas hijaber menyatakan bahwa jilboob (jilbab ketat) dikategorikan busana Muslimah yang kurang islami dan mereka melakukan kampanye untuk mengenakan jilbab gaul yang longgar (syar’i). Sejak itulah jilbab tidak lagi menjadi urusan kaum perempuan saja dan pribadi sifatnya tetapi berubah menjadi urusan laki-laki dan menjadi bagian wacana publik. Selain itu, para Muslimah mulai memiliki kontrol diri (self-censorship) bagaimana seharusnya mereka mengenakan jilbab di depan publik. M/H
Ketua Panitia Noor Malihah, Ph.D. mengatakan, ICONIS mengambil tema “Muslim in a Disrupted Millinial Age”.
“Maksud dan tujuan diselenggarakannya ICONIS sendiri adalah untuk mengkaji identitas, eksistensi, retorika umat islam dan kondisi mutakhir umat Islam di tengah-tengah masyarakat, baik sebagai mayoritas atau minoritas,” jelas Malihah.
Acara seminar internasional nanti disebut Malihah akan menarik mengingat bahasan yang diangkat adalah keadaan umat Islam sebagai mayoritas diwarnai problem internal dan eksternal.
“Problem internal yaitu polarisasi umat Islam dalam pengembangan kajian keIslaman, misalnya ada sekelompok umat Islam yang ingin membawa kembali Islam pada jaman kehidupan nabi sedangkan kelompok yang mengehendaki Islam harus lebih progressif dan aktual. Sementara problem eksternal berupa kenyataan umat Islam di masyarakat belum menjadi umat yang terbaik dalam beberapa aspek kehidupan,” sambung Malihah.
Ujung dari konferensi ini diharapkan menghasilkan gagasan terbaru dan paparan hasil riset mutakhir terkait Islam dan Masyarakat Islam. Selain itu, 12 makalah tersebut nantinya akan diterbitkan pada Jurnal Internasional IJIMS (International Journal on Islam and Muslim Society) dua edisi sekaligus, Januari-Juni 2018 dan Juli-Desember 2018.
“Forum ini juga menjadi ajang tasyakuran IJIMS yang sejak Agustus tahun lalu telah terindek SCOPUS dan otomatis bereputasi internasional,” demikian menurut Direktur Pascasarjana IAIN Salatiga dan Pimpinan Umum IJIMS, Prof. Dr. Zakiyuddin.
Sementara itu, Rektor IAIN Salatiga yang diwakili oleh Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan Dr. Agus Waluyo menyampaikan sangat mengapresiasi atas capaian jurnal IJIMS telah terindek SCOPUS.
“Dengan tercapaianya indek SCOPUS pada jurnal IJIMS ini kita semua patut bersyukur, dan sebagai upaya menjaga serta mengembangan IJIMS ditingkat internasional, maka melalui agenda besar yakni ICONIS ini diharapkan dapat mempersatukan pemikiran atau riset yang nantinya akan mengisi IJIMS,” jelas Dr. Agus. (zid/hms)